IJTIHAD FIQH ATAU IJTIHAD POLITIK?
Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak
Guru kami pernah menyampaikan kisah begini :
Di saat kematian Imam Hanifah di tahun 150 H, lahirlah tokoh cerdas fenomenal. Muhammad bin Idris namanya, Imam Syafii masyhurnya. Beliau datang dengan sejuta ide brilian. Bahkan murid kesayangannya, Imam Ahmad sampai mengatakan andaikan tidak ada asy Syafii maka kami tidak mengenal apa itu nasakh-mansukh.
Yang di atas adem, tapi yang di bawah jadi perkara. Singkat hikayat, menurut pendukung fanatik Imam Syafii, mereka mengatakan : lihatlah Abu Hanifah, dia takut jika melihat Ibnu Idris. Sehingga dia mati duluan sebelum melihat kehebatan asy Syafii. Mendengar hal ini, pendukung Imam Hanafi pun bilang: lihat Abu Abdillah (julukan asy Syafii), ketakutan dia mendengarkan nama harum Numan (Abu Hanifah), makanya dia terlalu lama di kandungan.
Kedua golongan itu berlebihan, seakan-akan mereka paling benar. Padahal, jika mau berpikir saling melengkapi maka kisah semacam itu tidak akan terjadi.
Kisah yang diceritakan Socratos selalu renyah untuk diulangi. Abu Zahroh mengutipnya dalam Manahij Islamiyyah... Bahwa ada 3 orang buta menyifati gajah dengan versi pemahamannya masing2 setelah meraba kaki, ekor dan belalai gajah. Semua dengan kesimpulan mereka. Hampir saja benar andaikan mereka tidak mengklaim pemahamannya yang paling benar. Andai mereka tidak berebut benar. andai mereka mau membuka diri bahwa ada kemungkinan orang llain yang menyempurnakan pemahamannya. Bukan menyalahlan, tetapi melengkapi dengan cara yang berbeda dengannya.
Ini yang diyakini al Ghazali di kitab al Mustashfanya. Bahwa dalam ijtihad fiqh itu kebenaran tidak tunggal. Bisa saja berbilang. Ini juga yang disetujui oleh Abdul Wahhab asy Sya'roni di dalam al Miizan al Kubronya. Bahkan asy Syaroni punya teori unik. Al Atsqol lil Qowi wal Akhoffu lid Dhoif, pendapat yang terlalu berat untuk yang dan pendapat ringan untuk yang lemah.
Pertanyaannya, kenapa logika ijtihad fiqh ini tidak ditarik dalam ijtihad politik di pilpres tahun ini??? ?