Di Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani karya Syaikh Sayyid al-Barzanji dikisahkan bahwa ada seseorang yang dengan congkaknya terbang di atas udara. Dia melihat-lihat ke bawah sambil berkata, "Tidak ada wali sebesar aku di sini." Katanya bergumam. Tanpa komando dan ba-bi-bu, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menunjukkan tangannya dan seakan ada magnet kuat yang menarik terompah bawaan si wali sombong tadi. Dia tersungkur seketika dengan terhina. Hingga dia meminta kepada Syekh Ali al-Haiti, murid Syaikh Abdul Qadir al-Jailani agar Syaikh memaafkannya.
مرآة الجنان وعبرة اليقظان (1/ 183)
وحكي أنه جاء رجل فقال له: اني رأيت طائراً سميناً، ما أعرف ما هو، وقد تدلى من السماء، فوقع على شجرة، وجعل يلتقط الزهر، ثم طار، فتغير وجه ابن سيرين، وقال: هذا، اموت العلماء، فمات في ذلك العام الحسن البصري ومحمد بن سيرين رحمة الله عليهما
Ada yang cerita bahwa suatu hari seseorang datang kepada Muhamad bin Sirin (ahli takwil mimpi). Dia berkata, "Sesungguhnya aku melihat ada burung gemuk yang tidak pernah aku tahu sebelumnya. Burung itu melengkuk dari langit. Lalu jatuh di atas pepohonan dan segera memetik buah. Kemudian terbang, apa maksudnya itu?
Wajah Ibnu Sirin berubah dan dia berkata, "Ini maksudnya adalah akan ada kematian para ulama." Ternyata di tahun itu, wafatlah Syekh Hasan Basri dan Muhamad bin Sirin ra.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa kejadian terjatuhnya kapal terbang itu berarti ada kesalahan-kesalahan orang tertentu dengan ulama tertentu. Tidak. Itu fitnah konyol yang tidak berusaha bertakziah kepada para korban musibah. Tetapi hanya menambahi kerunyaman semata. Begitu pula. Saya tidak sedang menakwilkan bahwa akan ada kematian para ulama dengan kejadian musibah seperti itu. Sebab, andaikan tidak terjadi hal demikian pun, Allah swt. lewat nabiNya pun berjanji akan mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulamaNya.
Namun, hal yang harus dan wajib direnungkan bersama adalah: tradisi mencaci-maki, mengolok-olok, memutuskan tali silaturrahim dengan dalih dan alasan apa pun, adalah menyebabkan kemurkaan Tuhan swt.
Jika kita beralasan untuk tidak menyambuh silaturrahim yang kita atau mereka putuskan dengan argumentasi mereka dahulu yang melakukan, maka apa bedanya kita dengan mereka yang melakukannya.
Ketika Tuhan memberikan pelajaran dengan ceritanya Sa'id yang dipaksa oleh ibunya untuk murtad kembali dengan ancaman ia tidak akan makan beberapa hari bahkan minggu ke depan, maka Allah swt. tetap berpesan agar ia bergaul dengan ibunya tetap dengan kebaikan. Hanya jangan ikuti aturannya yang mengajak kesesatan.
Itu adalah untuk ibu yang jelas-jelas menyuruh kemurtadan dan kekafiran, mempersekutukan Tuhan swt. yang jelas-jelas membuat dan menciptakannya. Apalagi hanya alasan ijtihad sepele yang tidak jelas, mana yang benar dan mana yang salah. Haruskah hingga memutuskan tali yang sudah lama dirajut dan tidak akan pernah bisa diputuskan selamanya itu?
Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak