SELAMAT HARI SANTRI: SIFAT DARI SANTRI, UNTUK NEGERI
Santri memang unik. Dari pola makannya, sosial-kebersamaannya, ta'dzim (menghormati) kepada gurunya dan bahkan yang paling menarik adalah sifat-karakternya. Maka, sifat itu sebaiknya tidak hanya dimiliki oleh santri saja, namun harus melegenda ke nusantara. Dan saya yakin jika itu terjadi, maka adem-ayem keagamaan di Indonesia akan tahan lama.
Pertama, rendah hati. Sebagai santri, penanaman jiwa tawadhu' (rendah hati) adalah mutlak wajib dimiliki. Bagaimana mereka dikasih cerita seperti riwayat Bal'am bin Ba'uro yang akhirnya meninggal dalam keadaan su'ul khotimah (kematian yang jelek) gara-gara tidak bisa mempertahankan kesantriannya. Begitu pula kisah Tsa'labah bin Hatib, yang sudah dikasihkan harta dunia, kaya raya dan hidup sejahtera tapi tidak bisa merendah hati hingga status kesantriannya pun dicabut hilang dari jiwanya.
Kisah-kisah semacam ini tidak lagi asing di kalangan santri. Terpatri kuat sampai ke relung hati. Maka, ketakutan untuk seperti Bal'am dan Tsa'labah benar-benar ada di hati setiap santri. Mereka tidak ingin seperti orang-orang jelek tersebut. Dan kunci semua itu adalah di dalam hati yang rendah suci. Dengan senantiasa merasa bukan segala-galanya, maka para santri tidak berani memandang orang lain lebih baik dari mereka. Justru sebaliknya, santri yang sudah mencapai tingkat tinggi tawadhuknya mereka, maka mereka akan memiliki pemahaman debu jalanan, tahi anjing dan kutil babi pun lebih mulia di banding mereka semua. Sebab, semua benda itu tidak akan mungkin terkena status su'ul khotimah. Berbeda halnya dengan mereka.
Sikap ini memang sangat baik sekali. Tidak ada jiwa kesombongan di dalamnya. Namun, kadang-kadang para santri lupa diri. Kemampuan dan ilmu yang sudah diberikan Allah swt. kepada mereka pun sempat terlupakan karena rendah hati yang tinggi. Hingga sering kali sikap ini membawa para santri untuk ngalah, ndredek (gemetar), kurang pede (percaya diri), dan cenderung eksklusif (tertutup). Tentu lahirnya sikap ini pun tidak baik. Sebab, pemanfaatan santri untuk negeri dengan sikap ini tidak akan terlaksana.
Maka, perlu menanamkan jiwa tawassuth (tengah-tengah). Artinya, seorang santri benar harus berendah hati, tidak sombong dan selalu menganggap orang lain lebih baik dari dirinya. Namun, dia harus tahu setahu-tahunya bahwa dia punya ilmu dan kemampuan yang diberikan Allah swt. Dan Allah swt. menyuruh dia untuk berkhidmah kepada umat manusia. Jadi, bukannya dia yang meminta jabatan atau pun kedudukan dan khidmah (pelayanan) untuk negeri ini. Tetapi Allah swt. yang menyuruhnya. Dan jika dia tidak mau dengan tidak mengamalkan ilmu yang Allah swt. berikan, maka sudah barang tentu Beliau akan memurkainya. Sebagaimana dalam beberapa hadis yang sudah jelas sekali penjelasannya.
Terlepas dari sikap turunan ini, sifat tawadhuk sangat kita perluka di hari-hari yang kian waktu kian kering nilai kerendah-hatian ini. Kaum beragama seperti pengapling surga, mereka yang tergesa-gesa menjadi ustadz sebelum berlama-lama menjadi santri itu seperti pembawa buku catatan kebaikan-keburukan, dan tentunya fatwa ngaco dan belepotan pun akan dengan mudah didapatkan. Apa efeknya? Mudah terbaca. Yaitu adanya kegaduhan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka, negeri ini perlu belajar dari santri. Terutama sikap rendah hati ini. Agar kedamaian tercapai. Rasa nyaman dan tenang untuk beribadah bagi siapa pun pemeluk agama masing-masing. Untukmu agamamu, dan untuk kami agama kami. Tentunya ini bentuk penghormatan siapa pun penduduk negeri ini, kepada Undang-Undang yang sudah menyepakati. Terutama yang tertulis dalam Pasal 27 dan 28 tentang Hak Asasi Manusia dan Cara Beragama.
Kedua, sikap santri yang senantiasa melekat adalah sederhana. Punya sebenarnya namun cenderung terbatas fasilitasnya. Memang disengaja. Dalam rangka riyadhoh (melatih diri sendiri). Bahkan saking riyadhohnya, ada Pesantren yang mengajarkan santri-santrinya untuk berpuasa. Variasi tentunya. Ada namanya puasa dalail. Yaitu puasa setahun lamanya, kecuali hari-hari yang diharamkan berpuasa. Jika sambil membaca al-Qur'an, maka disebut puasa Dalail al-Qur'an. Dan jika sambil membaca kitab Dalail Khoirot karya Syekh al-Jazuli, maka disebut sebagai Dalail Khoirot.
Ada lagi, santri yang berpuasa ngrowot. Yaitu meninggalkan memakan nasi. Semisal dia boleh memakan ceriping, ketela, jagung dan makanan pokok selain nasi. Seperti gandum, kurma dan lainnya.
Sikap ini mengajarkan kepada negeri, bahwa untuk hidup yang tidak ingin tekanan dan mencapai kenyamanan serta tenteram itu harus berusaha sekuat tenaga untuk sederhana. Akhir-akhir ini pola hidup seperti (mohon maaf menyebut merk) Mbak Awkarin melegenda. Dia hanya menjadi salah satu contoh saja. Bukannya ini sikap jelek. Asalkan ada pemasukan yang melebihi tanggungan, tentu fine-fine saja. Namun, jika sudah mulai masuk peribahasa lebih besar pasak dari pada tiang (lebih besar pengeluarannya ketimbang pemasukannya) maka ini sama saja memikulkan beban berat di pundak sendiri. And that is life style wrong...
Maka, negeri ini bisa belajar dari sikap-sikap santri itu.
Kita berharap dengan hari santri ini, para santri masih tabah dan bersabar untuk mengajarkan kemuliaan dan sikap-sikap baik lainnya kepada negeri ini. Agar mereka tetap merendah hati. Agar mereka tetap sederhana dan
bersahaja. Supaya negeri ini tidak mudah serasi dalam panasnya gaya hidup yang semakin membikin rusak diri sendiri.
Santri,
Sebarkan sikap kalian untuk negeri,
Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak,