FIQH HOAX: DARI ETIKA MENUJU HUKUM
Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak, S.Ud, M.S.I
Gambar di atas adalah klrafikasi dari badan pemerintahan menanggapi tentang hoax yang tersebar. Bukan content yang ingin saya bicarakan. Itu layak untuk didiskusikan. Tetapi pelajaran dari kasus ini yang menarik buat saya tuliskan.
Pertama, semua orang berhak memiliki gagasan, pola pandang, wordl view dan falsafah hidup sendiri-sendiri. Namun, jadi masalah adalah ketika dia menyebarkannya dan itu bertentangan dengan cara pandang orang lain yang berbeda. Padahal orang tadi terkesan "memaksakan" pendapatnya tersebut. Maka, dari sini akan timbul reaksi dan gap di tingkat sekitar.
Taruh saja dalam kasus bab puasa di kitab-kitab turats. Ada kejadian seseorang ahli nujum (perbintangan), ahli hisab (penghitungan falak), si fasik, anak kecil, orang sakti dan sebagainya yang mengabarkan besok adalah puasa. Lalu berita itu tersebar keluar dan konsumsi publik, bagaimana sikap fiqh? Maka, dijelaskan bahwa kita tidak wajib mempercayai dan tidak boleh puasa mengikuti mazhab mereka. Kenapa? Karena mereka itu siapa? Kita saja tidak kenal bagaimana mau mempercayainya (Ianatuttalibin, II/103).
Namun, bagi siapa pun yang mempercayai dan meyakini ucapan orang-orang di atas maka dia harus mengikutinya. Artinya, dia harus berpuasa esok harinya sesuai dengan rekomendasi dan ajuran orang-orang tersebut. Ini berarti hoax yang dibenarkan itu pun ada konsekuensi dan harus dijalankan sesuai dengan keyakinan pelakunya. Namun, hoax di sini tidak berarti mutlak berdusta atas realita. Dia masih bersifat abu-abu belum jelas mana hitam-putihnya. Karena sifatnya masih ijtihadi.
Kedua, hoax terkejam adalah buhtaaan (membuat-buat). Ada dua terminologi yang dikenalkan Nabi saw. dalam satu hadisnya berikut:
أتدرون ما الغيبة؟ قالوا: الله ورسوله أعلم، قال:
ذكرك أخاك بما يكره. قيل أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ قال: إن كان فيه ما
تقول، فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهته
"Apakah kalian tahu apa itu gibah? Mereka (para sahabat) menjawab: Allah dan rasulNya yang tahu. Beliau bersabda: yaitu kamu menyebutkan hal yang tidak disukai saudaramu. Ada yang bertanya: bagaimana jika hal itu ada di saudaraku? Beliau menjawab: jika memang ada maka kamu telah menggunjingnya. Dan jika tidak ada, maka kamu berbuat buhtaan." (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Dua hal tersebut adalah gibah. Jika dimasukkan dalam kategori hoax, gibah juga masuk. Gibah itu umum. Menyebutkan kejelekan orang lain dengan cara apa pun yang ia benci itu adalah gibah. Dan itu bentuk lain dari hoax. Meskipun isinya benar tetapi kalau cara yang digunakan salah dan dalam rangka untuk kesalahan, maka itu bisa disebut hoax. Sebagaimana dalam penjelasan di sini.
Namun, ada lagi yang lebih parah. Yaitu hoax dengan cara membuat-buat berita palsu yang diada-ada. Maka, ini adalah penyesatan. Hoax tertinggi. Nabi saw. menyebutnya sebagai buhtaaaan, yaitu fitnah yang dibuat-buat tanpa ada data lapangan yang jelas. Ini sangat-sangat diharamkan dan dilarang.
Semua bentuk hoax itu akan merennggangkan hubungan siapa pun. Sebab, dia bisa menjadi namimah (adu domba) atau bisa juga menjadi ihaanah (menghinakan orang lain). Dan kesemuannya itu akan berujung pada keresahan kolektif.
Maka, sudah saatnya membuat fiqh hoax yang bisa dimasukkan ke dalam ghibah misalnya. Atau terminologi buhtaan juga bisa. Al-Ghazali pernah menyindir. Mengapa hati kita merasa berdosa banget ketika meninggalkan shalat, puasa dan haji? Tetapi hati merasa tenang manakala melakukan adu domba, gibah-menggunjing, hasad-dengki iri hati dan penyakit hati lainnya? Padahal Tuhan swt. mewajibkan untuk menjaganya sama. Menjaga anggota tubuh fisik itu wajib. Dan menjaga anggota tubuh hati itu juga kewajiban (Minhajul Abidin, 18).
Jadi, melawan hoax itu bukan hanya etika dan adab yang biasanya dihukumi sunah semata. Tetapi, dia sudah masuk ke dalam ranah hukum-juridis yang ada konsekuensi dosa ketika meninggalkannya.
Saya rasa, dengan bermindset demikian, maka lambat-laun hoax yang semakin menggurita ini akan semakin menyusut insya Allah....