MASIHKAH GURU ITU PAHLAWAN TANPA TANDA JASA?




Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak


Dulu, saat saya masih di Sekolah Dasar, hampir setiap pekan sekali akan ada pertanyaan dari para guru yang mengampu pelajaran di kelas kami. “Siapakah maksud dari pahlawan tanpa tanda jasa?” begitu pertanyaan tersebut. Dan ganjarannya adalah siapa saja yang bisa menjawabnya dengan baik, maka dia diperbolehkan untuk pulang duluan. Maka, dengan semangat dan penuh percaya diri, saya akan menjawab dengan lantang, “Guru....” Dan otomatis, saya diperbolehkan untuk meninggalkan kelas.

Hari ini, saya sering bertanya-tanya sendiri. Benarkah, para guru itu masih disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? 

Dulu mungkin layak disebut demikian. Sebab, tidak ada demo kenaikan gaji bagi para guru. Ruh keikhlasan begitu nampak dalam raut wajah dan tingkah mereka. Bahkan, jujur saya dulu merasakan bahwa ibu guru adalah benar-benar ibu saya sendiri. Bagaimana beliau benar-benar perhatian, menanyakan apa dan bagaimana yang belum dipahami, bahkan beliau rela memberikan les di jam setelah sekolah. Tanpa ada beban tambahan terhadap uang untuk para siswa didik atau pun orang tua.

Itu dulu. Sekarang, mohon maaf, para guru tersibukkan dengan dunia formalitas. Kenaikan gaji, sertifikasi, kenaikan jabatan dan pangkat serta formalitas lain yang intinya adalah UUD (ujung-ujungnya duit). Bukan jelek. Karena memang zaman menuntut berbeda. Mungkin sembako dan nilai strata sosial berbeda antara zaman old dan zaman now. Maka, pantas saja jika itu terjadi perubahan dan dinamika di dalam pembelajaran di dunia guru tersebut.

Hanya saja yang menjadi masalah adalah tuntutan kehormatan dan gelar dengan kondisi praktek-real yang berbeda. Mudah begini. Jika poin dan tujuan para guru sekarang tidak lagi murni sebagai pendidik, tetapi sudah mulai bergeser menjadi pekerja dan pegawai, maka gelar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu juga harus bergeser pula. Semisal menjadi pahlawan dengan tanda jasa. Atau pahlawan pencari jasa.

Saya tidak sedang menghujat para guru. Tidak. Sebab, saya sendiri juga adalah guru pula. Tetapi, ini sebagai bahan renungan pribadi saya dan orang-orang yang meresahkan hal yang sama. Sistem yang menguat di satu sekolah atau instansi pendidikan tertentu tanpa diimbangi keseimbangan metode pendidikannya, maka sama saja menciptakan robot-robot baru yang terbiasa tidak memiliki kreatifitas. Dan itu akan membuat mesin-mesin baru di kancah pasar global yang kian menuntut persaingan ini.

Tiga film pendidikan ini mungkin layak untuk ditonton para guru sebagai bahan renungan. 

Pertama, 3 idiot. Film garapan Amir Khan ini menceritakan pola pendidikan kampus di India yang sebagaimana kampus-kampus lainnya adalah membebani mahasiswa dengan tugas, penemuan dan ujian berikut rangking-rangkingnya yang menyebabkan mereka stress. Menurutnya, pendidikan yang baik harus disesuaikan bakat para murid. Jika dia berbakat di seni, fotografi dan kamerawan maka diarahkan saja ke sana. Karena sesungguhnya tidak ada anak bodoh di muka bumi. Sebagaimana tidak ada baju batik yang tidak layak jual. Hanya di mana baju itu dijual. Jangan kamu menjual batik di pekalongan, karena di sana tempat produksinya.

Kedua, the big brother. Film dengan pemain inti Donnie Yen ini menceritakan seorang guru SMA yang tidak hanya menjadi guru di dunia formalitas pendidikan. Tetapi juga menyelami para siswa di dunia permainan dan keseharian mereka. Bahkan, ketika sang murid akan di penjara lalu ditanya siapa yang bisa memberi jaminan? Maka bak super hero, guru ini datang dengan menyebut bahwa dia yang akan menjadi penjaminnya.

Ketiga, tere zameen. Masih sama, film garapan Amir Khan ini menceritakan anak SD yang dianggap tidak mampu dan malas belajar. Padahal sesungguhnya dia sedang mengidap penyakit disleksia. Dan itu pula yang menurutnya, penyakit yang terkena pada Albert Einstien. Namun, berkat kepekaan dan kesabaran sang guru itulah, murid tertolong dan mampu mengikuti pelajaran yang ada.

Tentu, film hanyalah film yang bukan kehidupan nyata. Perubahan dan pengaruhnya bisa dibuat-buat. Menjadi happy atau sad ending tergantung sutradaranya. Namun, setidaknya syarat nilai dan pelajaran atau hikmah tetap ada dan bisa diteladani. Orang mukmin itu tidak tebang pilih dalam mencari hikmah. Dari mana pun hikmah itu datang, maka dia akan menerimanya. Bahkan andaikan hikmah itu datang dari hewan, orang bodoh atau apa pun itu. Karena hikmah akan membawa pelajaran yang bisa dipetik. Dan tugas manusia itulah mencari pelajaran dari apa saja.

Sikap menjadi teman inilah yang sekarang dibutuhkan para pelajar dan anak murid zaman now. Sebenarnya, mereka butuh tempat curhat dan teman bicara. Di rumah, para anak-anak ini sudah borring atau bahkan broken home karena ayah-ibu mereka sulit dijumpai. Mereka sibuk dengan dunia kerja masing-masing. Atau andaikan mereka punya waktu, hp dan gadget itu yang lebih akrab dengan orang tua ketimbang putra-putrinya mereka sendiri. Lalu, di sekolah mereka harus tertekan dengan tugas dan ujian lagi. Maka, bisa saja free seks dan sammen liven adalah pilihan terakhir mereka untuk setidaknya menjadi tempat sekedar santai menghilangkan beban hidup tersebut.

Sistem dan metode pendidikan yang sudah ada itu tidak jelek. Itu bagus. Mata pelajaran dengan segala materi dan evaluasi raport dalam bentuk narasi dan digitalisasi. Itu semua sudah tepat dan pas sasaran. Namun, pendekatan dalam metode pendidikan itu yang sekarang juga perlu ditambahkan. Tidak hanya guru sebagai atasan formalitas semata. Yang terkesan bagi siswa sebagai penyuruh, pemarah, penanya atau pun bahkan disebut pula sebagai tukang tunjuk. 

Sudah saatnya sekarang untuk membuat kesan guru tidak hanya sebagai ayah. Tetapi juga sebagai konselor dan ibu. Yaitu yang memerhatikan siswa tidak hanya masalah pendidikan semata. Namun, bisa menjadi orang kepercayaan para murid untuk sekedar tempat curhat mereka. 

Pendek kata, sudah saatnya guru sebagai penolong kejiwaan para siswa.

Dengan demikian, meskipun tanda jasa yang dicari sang guru, dia akan tetap dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa oleh setiap murid dan siswa. Karena penolong kejiwaan tidak akan pernah ada uang yang bisa membandinginya. Para siswa akan melekat, mengenang perjuangan para guru itu.

Semoga saja,