MAULID NABI SAW.: DARI SEREMONIAL MENUJU SPIRITUAL
Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak
Sebentar lagi akan ada pagelaran Akbar di belahan daerah kaum muslim
berada. Mulai dari yang modelnya kecil hingga besar-besaran. Dari yang ratusan
ribu hingga ratusan juta rupiah. Riuh-rendah, gegap-gempita dan suka-cita
nampak dalam satu bulan penuh. Bahkan ada yang hingga tanggal 35 pun masih
senang menyelanggarakannya. Tentu saja, bisa karena Kyai yang diminta ngisi
ceramah itu sudah terlalu padat jadwalnya. Atau pun karena memang hasil mufakat
dari musyawarah warga yang menentukannya.
Yaitu peringatan hari kelahiran Nabi saw. Terlepas dari pro-kontra apa,
siapa dan bagaimana permulaan event itu terjadi. Namun, menjadi realitas
di belahan dunia yang mayoritas kaum muslimnya bahwa di bulan itu akan terasa
berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Rabi’ al-Awwal tepatnya.
Seremonial yang terjadi tentu dengan berbagai model dan bentuk. Misalnya di
daerah Jawa dan sekitarnya, seremonial Maulid Nabi saw. itu diisi dengan
pengajian dan pembacaan sejarah kehidupan Nabi saw. Mulai dari kitab al-Barzanji,
Maulid ad-Dîba’, Simtu ad-Duror hingga kitab Dhiyâ’ al-Lâmi’
misalnya. Belum lagi momen karnaval, adat daerah, tradisi setempat dan
lain-lain.
Ambil saja satu contoh di Daerah Sukolilo, Pati Jawa Tengah. Setiap kali
bulan Maulid datang, mereka menggelar kegiatan tahunan yang mereka
namakan meron. Yaitu semacam upacara adat dengan cara mengiring
rengginang yang sangat banyak dengan berbagai ragam bentuk dan ukurannya. Ada
yang ukurannya kecil sekecil-kecilnya, ada yang ukurannya besar
sebesar-besarnya, ada yang diikat, dilepas, ditali dengan rapi dan berbagai
model kesenian rengginang siap untuk ditampilkan. Adat tahunan ini begitu gegap
gempita dilakukan oleh penduduk sana. Entah dari mana dan kapan asalnya, namun
tradisi ini sudah mewabah dan menjamur. Hampir muda-mudi, besar kecil, tua
renta semuanya berkumpul di sana.
Meron Yang
Membawa Berkah
Pernah saya mewancarai beberapa warga tentang mengapa mereka begitu
antusias untuk mengikuti perayaan adat ini? “Berkahnya besar mas...”
kata salah satu mereka yang mengenalkan diri bernama Yu Ah. Saya jadi
tertarik. Apa berkahnya coba. Lha wong, rengginang ditata-rapi saja kok
keluar berkahnya, sih? Padahal makanan ini sering kali diidentikkan oleh
teman-teman netizen sebagai penipuan. Alasan mereka rata-rata menyebut di hari
raya. Biasanya, ada kaleng bertuliskan biskuit namun berisi rengginang
tersebut. Kalau di daerah saya namanya krecek. Entah mengapa bisa
disebut begitu? Ada yang bilang sih karena saat memakannya berbunyi krecek-krecek
begitu. Nah, kalau asal muasal nama rengginang apa ya guys? Ini
bukan tempat diskusi kita.
“Berkahnya apa bu?” tanya saya penasaran ketika itu.
“Banyak mas...” jawabnya. Lalu dia bercerita. Pernah anaknya yang paling
bungsu sakit keras. Sudah beberapa kali ikhtiyar diusahakan. Mulai dari dokter
penyakit dalam, penyakit luar, orang pintar, orang bodoh, akupuntur atau pun
aku luntur semuanya tidak ada yang mempan. Si anak masih sakit misterius yang
tidak teridentifikasi penyakitnya apa dan pengobatannya bagaimana. Lalu kata si
ibu, dia mencoba mencari berkah (tabarrukan) dari makanan rengginang
yang dipagelarkan di bulan Nabi saw. itu, dengan niat agar mendapatkan
pertolongan dari Allah swt. lewat Nabi saw. sehingga anaknya bisa sembuh.
Ajaib, bak sulap terjadi.. Perlahan tetapi nyata, si anak berangsur-angsur
kembali sembuh. Kesehatannya semakin hari semakin membaik. Si ibu semakin
tambah yakin bahwa keberkahan di bulan Maulid itu ada. Bahwa mencintai Nabi
saw. itu memang benar-benar memberikan manfaat. Tidak hanya di akhirat nanti.
Tetapi di dunia saja sudah kelihatan.
Ada lagi ibu lain yang bernama Mbah Mah. Dia bercerita, “Saya punya
anak perempuan mas. Sudah berumur usianya. Tetapi namanya ujian, dia belum juga
menikah. Di samping karena orangnya kuper (kurang pergaulan), juga tidak
ada pemuda mana pun yang berniat untuk sekedar mengenalnya. Ini membuat saya
sedih. Saya juga sudah berulang kali memintakan doa kepada para ulama dan kyai
agar Allah swt. segera memberikan jodoh kepada anak saya ini, mas. Tetapi Allah
masih ingin menguji kami. Ndilalah, ketika perayaan meron datang,
saya dengan harap-harap cemas mencari berkah dari makanan krecek itu
untuk saya berikan ke anak saya agar dimakan dengan harapan semoga segera
ketemu jodohnya.”
“Ajaib nak,” begitu kata sang ibu melanjutkan ceritanya.
“Ajaib bagaimana, bu?” saya juga tak kalah seru menanyakan keajaiban
yang dimaksudkan sang ibu tua ini.
“Selang beberapa hari setelah itu, tetiba ada lelaki yang baik orangnya
datang ingin sekedar ta’âruf kepada anak saya.. Lalu, hari pernikahan
yang dinantikan pun segera datang, dan acara berjalan dengan lancar. Ini yang
gendong adalah anak keduanya,” begitu sang ibu memperlihatkan cucu manis nan
cantik yang dibawanya.
“Kok bisa begitu ya bu?” kejar saya jadi penasaran.
“Ya semua karena Allah swt., mas, tetapi secara syariat lahiriahnya adalah
sang pemuda tadi melihat anak saya waktu acara pameran meron tersebut.
Dan dia singkat kata, jatuh hati kepadanya. Karena anak saya juga ikut keluar
pada acara meron itu. Dan benih cinta itu pun mengembang, berubah
menjadi kenyataan dari yang asalnya buaian,” kata sang ibu sembari ada
nada-nada berpuisi dalam ucapannya. Saya pun hanya tersenyum manggut-manggut
mendengarkan cerita menarik ini.
Dari Seremonial Menuju Spiritual
Dari kisah dan fenomena seperti itu yang sering saya temukan, saya menjadi
sering berfikir tentang local wisdom yang digagas oleh para sesepuh
untuk mendekatkan kebaikan kepada para warga dan penduduk desa. Tidak semua
orang –terlebih suku Jawa– itu betah jika diajak beribadah semuanya. Gak usah
berbicara mereka, saya sendiri saja. Sangat tekun dan khusyuk sekali di
depan gadget. Bahkan berjam-jam lamanya. Padahal hanya itu-itu saja yang
dibuka. Dari facebook, twitter, instagram, detik, bukalapak, youtube dan
sejenisnya. Mungkin agak berbeda jika membuka mojok.co kali ya hehehe...
Tetapi, jika sudah dikasih al-Qur’an di depan mata. Jangankan satu jam, satu
menit saja rasanya sudah seperti bertahun-tahun. Tidak tahu ya, tiba-tiba mata
terasa berkunang-kunang, lelah dan capek yang semua itu akan hilang kembali
terang benderang seperti ada mentari datang saat hp sudah dipegang.
Maka, bentuk kebijakan orang tua dulu adalah mengenalkan rasa cinta pada
Nabi saw. tidak hanya lewat baca al-Qur’an, shalat dan shalawat, tetapi juga tepo-seliro,
sedekah bersama dan apa pun namanya yang intinya adalah menebar sosial demi
membuktikan rasa cinta kepada beliau saw. Dan tentu seremonial-seremonial
seperti ini yang malah banyak digemari oleh masyarakat dan penduduk setempat.
Maka, bagi saya semua bentuk jenis seremonial yang sudah digagas oleh para
sepuh itu sesungguhnya adalah bermuatan penuh spiritual yang mendalam. Semisal tahlîlah
itu bernilai agung menghormati leluhur yang sudah meninggal, perayaan hari raya
dalam rangka ekspresi gembira dan syukur atas nikmat besar mengalahkan nafsu
sendiri, kemudian kirab di hari santri sebagai bentuk jas merah (jangan sampai
meninggalkan sejarah) dan jas hijau (jangan sampai hilangkan jasa ulama).
Begitu juga dengan maulid yang memiliki berbagai piranti dan model itu
juga ada banyak nilai spiritualnya yang paling dominan tentu dalam rangka menanamkan
rasa cinta dan usaha untuk meneladani Nabi saw.
Maka, stop mulai sekarang mencaci maki dan mencemooh tradisi leluhur yang
dalam rangka kebijakan lokal itu. Lebih baik mengarahkan kembali masyarakat dan
penduduk untuk mengingat nilai spiritual apa yang diinginkan leluhur dan tetua
dengan segala bentuk seremonial yang ada. Ini tentu lebih bermanfaat ketimbang
hanya mengolok-olok dan menyebut sesat yang akhirnya hampir bisa dipastikan
berujung perpecahan dengan dalih dan alasan apa pun.
NKRI kita akhir-akhir ini diuji dengan banyak isu dan tantangan. Yang baru
saja kemarin menghebohkan dunia maya adalah tentang pembakaran bendera HTI yang
berlambang tauhîd. Saya tidak ingin masuk ke hukum, etika atau
pun perkembangan isu tersebut. Tetapi, saya lebih tertarik untuk membicarakan
kembali pentingnya kearifan lokal. Sebagaimana semangat yang dicontohkan oleh
Sang Nabi saw.
Ada satu riwayat, Nabi saw. pernah bercerita sama Aisyah, “Andaikan kaummu
tidak baru saja masuk Islam, niscaya aku akan mengembalikan lagi Ka’bah seperti
di masa Ibrahim as.”
Di masa Ibrahim as., Ka’bah itu terbentuk lebih panjang. Seluruh Hijr
Ismâ’îl (dua batu yang di depan Ka’bah) itu masuk pula di dalamnya. Namun,
karena bangsa Quraisy dulu ketika membangun tidak memiliki biaya untuk
menyempurnakannya, maka mereka memberinya tanda. Jadi, bangunan Ka’bah hanya
berbentuk kubus segiempat itu. Lalu kekurangannya diberi tanda dua batu di depan
Ka’bah tersebut. Nah, Nabi saw. berniat hendak memindahkannya. Artinya,
mengembalikan bangunan kubus itu menjadi balok agar sesuai di masa Ibrahim as.
Namun, beliau saw. tidak tega karena melihat keagamaan kaum Quraisy yang baru
saja masuk Islam. Bisa saja, mereka nanti akan memberontak dan menimbulkan
kericuhan.
Ini merupakan ajaran mulia dari Baginda Nabi saw. agar kita dan siapa pun
menghormati budaya lokal. Apa yang sudah mapan di masyarakat asalkan itu tidak
dilarang oleh agama, meskipun dimasukkan hukumnya makruh atau pun khilâful
aulâ (tidak baik), maka jangan dihancurkan apalagi dimusuhi. Ada satu
statemen menarik dari seorang ulama Mazhab Hanafi di bukunya al-Âdâbu
asy-Syar’iyyah bahwa tidak diperkenankan keluar dari adat tradisi satu kaum
asalkan itu tidak berupa barang yang haram.
Belum lagi cerita para ulama. Semisal Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana di
buku yang sama itu. Beliau pernah memasuki masjid di waktu Magrib. Lalu beliau
tidak melaksanakan shalat qobliyyah Magrib (shalat yang dilakukan
sebelum shalat Magrib, berjumlah dua rakaat). Padahal hukum shalat tersebut
adalah sunah. Dan Imam Ahmad itu terkenal sebagai orang yang sangat mencintai
sunah. Bahkan ucapannya yang tersohor menyebutkan, “Sungguh, aku lebih suka hadis
atau sunah meskipun lemah daripada logika yang dibangun manusia (seperti
analogi dan sebagainya).”
Kemudian beberapa murid beliau tertarik untuk mengklarifikasikan masalah
tersebut. Mereka bertanya, “Kenapa sang imam tidak melaksanakan shalat qobliyyah
Magrib tersebut?”
Jawaban beliau tidak terbayangkan sebelumnya. Beliau berkata, “Saya takut
orang-orang akan salah paham dan menimbulkan kegaduhan. Karena mereka tidak
biasa melakukan shalat sunah itu. Maka aku meninggalkan agar tidak terjadi
kerusuhan.”
Begitulah, para nabi, habib-ulama dan para kyai itu berusaha menjalankan
keamanan di atas segalanya. Meskipun satu perbuatan itu hukumnya sunah, baik, mustahab
dan sebagainya namun belum diterima di masyarakat dan jika tetap dijalankan itu
bisa menimbulkan fitnah dan kegaduhan maka meninggalkan jauh lebih baik
tentunya. Pengertian semacam ini juga bisa diaplikasikan dalam pemikiran.
Artinya, jika pemikiran kita bisa menimbulkan kegaduhan bersama dan bahkan
menyebabkan perpecahan satu dengan yang lain maka meninggalkan show dan publish
dari pemikiran tersebut adalah jauh lebih baik.