SOLEH SOSIAL ATAU RITUAL?
Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak
Akhir-akhir ini banyak dimassifkan terminologi soleh sosial dan individual. Soleh sosial dimaksudkan mereka yang taat beragama, religius, rajin shalat dan puasa. Namun mereka juga rajin bersosial, membantu sesama, menolong orang lain, berzakat-sedekah dan lainnya. Sedangkan soleh individual lebih mementingkan diri sendiri, egois dalam beragama, hanya sholat tidak zakat, hanya puasa tidak peduli tetangga sebelahnya dan lainnya.
Lalu pertanyaannya, mana yang lebih baik?
Secara umum, benar statemen bahwa soleh sosial tentu lebih baik. Menimbang al-muta'addi afdholu minal qoshir. Bahwa perkara yang menular (ke orang lain dengan memberi manfaat kepada mereka) itu jauh lebih baik ketimbang yang terbatas (pada diri sendiri si pelaku). Ambil contoh, pelajar ilmu lalu mengamalkan dan mengajarkannya itu jauh lebih baik ketimbang mereka yang hanya beribadah di musholla/masjid. Karena terkena kaidah tersebut (Kifayatul Atqiya' Lis Syaikh Abi Bakar Syatho: 33).
Namun, as-Suyuthi memberikan pengecualian dari kaidah di atas. Yaitu iman. Biarpun manfaat iman hanya terbatas pada si pelaku (qoshir), tetapi iman jauh lebih utama dan baik ketimbang amal salih atau pun sosial lainnya. Ini keyakinan Ahlisunnah. Bukan berarti mendiskreditkan amal sosial. Tetapi hak Allah swt. untuk disembah dan diyakini semestinya (iman) adalah more important than every thing (jauh lebih penting dari apa pun).
Maka, Nabi saw. memberikan petunjuknya berikut ini:
الإيمان بضع وسبعون شعبة فأفضلها قول: لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإيمان
"Iman itu bercabang lebih dari tujuh puluh... Yang paling utama adalah ucapan: Tiada Tuhan selain Allah swt., yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari tengah jalan. Iman juga termasuk cabang dari iman..." (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Hadis ini menunjukkan betapa berharganya keimanan. Karena dia menjadi puncak dari seluruh cabang amal salih lainnya.
Tetapi jangan semua seperti itu. Harus ada dari golongan kaum muslim yang memang konsen di satu bidang tertentu semisal ilmu pengetahuan. Dia menggeluti dunia ilmu. Dari mulai membaca, menulis, meringkas, menjabarkan, mengajarkan, membuat karya, memudahkan pemahaman, mencari metode baru yang berkembang dalam kajian keilmuan sehingga dia akan menemukan hal-hal yang lebih baik dalam dunia keilmuan. Lalu di endingnya dia mencoba untuk memberikannya kepada orang lain. Yang muara akhirnya juga sama. Yaitu salih sosial dengan gaya mereka. Hal ini sesuai dengan semangat yang ditanamkan QS. At-Taubah: 122.
Simpelnya begini, Nabi saw. memberikan pengarahan bahwa barang siapa yang beriman kepada Allah swt. dan rasulNya saw. maka berkatalah yang baik atau diamlah. Berkata itu bisa berkonotasi kepada berujar, bertindak kebaikan, membantu orang lain, menolong sesama atau ringkasnya bisa kita sebut sebagai salih sosial. Sedangkan diam adalah pasif. Tidak banyak berperilaku perubahan sosial, tetapi setidaknya dia tidak mufsidiin (merusak) orang lain. Ini iman sangat lemah. Tetapi masih bagus juga. Tentu yang terbaik adalah iman model pertama.
Jika melihat semangat ayat dan hadis di atas, nampak ada poin terpenting dari sekedar menjadi solih sosial atau ritual individual. Apa itu?
Right... It is about job description for us... Semacam pembagian tugas. Itu yang jauh lebih penting. Harus ada kaum muslim yang peduli sosial tinggi, cepat tanggap bantuan, siap berjihad dengan medan sekeras apa pun. Ibarat pemain sepak bola merekalah para stricker kita. Namun, harus ada para kiper yang setia menunggu gawang agama. Dia berdiri tegak di perpustakaan kajian keislaman, membuat studi keagamaan dan sebagainya.
Yang mulai jadi masalah adalah ketika masing-masing klaim kebenaran dan kebaikan. Na'udzubillah min dzaalika...