ITU SUNAHKU, URUS SENDIRI SUNAHMU!


Oleh: Santri PP. Miftahul Ulum Yahyawiyyah




Malam itu, aku diminta sama romo Kyai (nama guru di Pesantren) untuk mengantarkan pergi mengaji ke daerah Temanggung, Jawa Tengah. Dengan persiapan kuat, tidur terlebih dahulu dan menata rapi baju pengganti, saya sudah ready untuk segera berkhidmah (membantu) beliau. Tidak perlu lama, sekitar 3,5 jam setengah kami sudah sampai di lokasi. Karena perjalanan relatif lancar dan tidak terjadi kemacetan. Bagaimana pun juga, sebagai rakyat semestinya kita berbangga dengan program dan kinerja pemerintah hari ini. Betapa pun ada banyak kekurangan, itu wajar manusiawi. Tetapi, jangan sampai ‘keburukan’ mereka menutupi ‘kebaikan’ yang sudah mereka tanamkan. Terbukti, pembangunan jalan sekarang massif sekali dan beberapa daerah yang rawan macet sekarang sudah mulai terlihat bedanya.

“Sampai di sini jam berapa?” kata beberapa warga menyambut kedatangan kami. Dan itulah bentuk basa-basi yang sekarang sudah mulai lentur dan luntur. Kebanyakan remaja-remaji zaman now lebih tertarik dengan gadget kecilnya daripada sekedar basa-basi bertanya kepada sekelilingnya. Tentu ini bukan suatu larangan, namun setidaknya ada etika yang perlu dijaga. Karena belum tentu sesuatu yang tidak dilarang itu lantas berupa kebaikan. Taruh saja misalnya begadang sampai malam. Begadang boleh begadang, tetapi harus tahu aturan. Maka, tradisi basa-basi itu sangat perlu untuk dilestarikan. Memang benar, model basa-basi tidak terbiasa di budaya Barat. Terbukti dengan model convertation mereka tidak banyak kosa-kata tentang sekedar menanyakan, “Mohon maaf jika perkataan saya mengganggu hati saudara,” atau kata, “Sebelumnya, terima kasih banyak atas penghormatan ini.” Tetapi, budaya basa-basi ini adalah budaya timur yang harus dengan bangga kita melanjutkannya.

Setelah lama mengobrol panjang lebar dan saya mengatakan, “Tadi berangkat dari rumah habis Subuh tepat. Sekitar jam 04.15 mungkin...” Tanpa saya duga sebelumnya, tiba-tiba ada orang yang dengan raut muka mencurigakan, jidat menghitam, jubah menjulur memanjang, jenggot enggan dirapihkan dan cenderung memanjang kanan-kiri itu nylethuk dan mengatakan, “Oooo... berarti tadi aurôd (wirid yang dibaca sehabis shalat seperti tahlîl, alhamdulillâh 33 x, subhânallah 33 x, Allâhu akbar 33 x dan lainnya) dan zikir-zikirnya dibaca ketika di mobil, ya?” terhentak saya mendengar celetuk orang tersebut.

Semua orang terdiam, termasuk saya. Seakan ada pakewuh (sungkan) di antara kami semua. Bagaimana tidak coba? Di tengah suasana menghangat, basa-basi dan menanyakan ini itu, tiba-tiba pembicaraan itu dihentikan oleh pertanyaan yang merupakan privasi masing-masing orang. Saya sebut ‘privasi’ karena hukum dari aurôd-zikir itu sunah yang mana individu bisa memilih antara melakukannya atau tidak.

Saya teringat satu kisah menarik yang disampaikan Kyai tentang dua orang yang berbeda segi keberagamaannya. Beliau memulai menceritakan kisah ini dengan mengutip rujukan dari buku Arab berjudul Syadzarôtu adz-Dzahab Fî Qissati Man Dzahab karya Ibnu al-‘Imâd al-Hanafi. Suatu hari, tersebutlah wali Allah swt. bernama Syekh Ibnu Daqîqi al-‘Îd. Beliau ulama besar yang kenamaan bidang fiqh Mâlikinya. Tetiba, dia mendengar banyak orang yang menggunjingkan wali besar bernama Sayyid Ahmad al-Badawi. Konon, ia tidak pernah shalat Jum’at. Lalu Ibnu Daqîq mencoba untuk memberanikan diri sowan (ziarah) ke rumah wali itu.
“Mengapa orang seperti engkau tidak mau shalat Jumat?” katanya mengawali pembicaraan. Tentu, bicara semacam ini di depan orang yang tersohor agung dan keilmuannya mumpuni akan menyebabkan keheningan suasana. Dan itu terjadi pada percakapan dua ulama besar ini. Tanpa berkata sepatah apa pun. 

Ajaib! Ibnu Daqîq tiba-tiba berada di tempat sunyi saat membuka mata setelah berkedip tadi. Di tengah samudera, pulau terpencil, sendirian, tak bertuan dan menakutkan. Manusiawi beliau muncul. Linangan air mata menyesali perbuatannya sendiri yang ia tidak tahu apa penyebabnya bisa sampai ke sana. Berusaha mencari bantuan tidak ada. Semua hening. Seakan di negeri antah berantah. Di tengah itulah, tetiba ada tangan mulus nan lembut menyentuh kepalanya sambil berkata, “Orang seperti al-Badawi itu tidak pantas kamu tanyakan masalah seperti itu. Bersegeralah menuju ke tengah hutan, di sana ada Masjid besar penuh dengan jamaahnya. Pergilah di dekat sang imam, minta maaf kepadanya dan memohonlah agar engkau dipulangkan ke rumahmu.” Demikian kata sosok yang mengaku dirinya adalah Khidir.

Ia menuruti perkataan si tua tadi. Dan ternyata mencengangkan. Saat ia tahu siapa orang yang dia mohon dan minta agar memulangkannya ke rumah. Dialah al-Badawi. Orang yang sebelumnya dia anggap manusia biasa yang penuh dosa salah dan kekurangan. “Janganlah kamu terlalu kefeqihen (menakar hukum hanya dengan fiqh) hingga mudahnya mulutmu menyakiti orang lain. Itu bukan akhlak yang diajarkan Nabi saw., kamu boleh pulang dan harus bertaubat dari sikap seperti itu...” pungkas as-Sayyid dengan wajah teduh penuh kewibawaan. Sejak saat itu, Ibnu Daqîq tidak pernah lagi berani mengomentari pedas tentang keberagamaan orang lain. Siapa pun itu. Asalkan ada kemungkinan si pelaku mengikuti ulama, apalagi perbuatan diperdebatkan ulama, maka dia lebih memilih diam.

Saya tidak mengatakan bahwa saya seperti al-Badawi, atau si penegur saya seperti Ibnu Daqîq. Terlalu jauh tentunya. Namun, pesan-pesan al-Badawi itu yang sesungguhnya menarik untuk dicerna dan diamalkan. Bahwa tidak perlu kita tergesa-gesa menjudge, bernegatif thinking, curiga atau pun sejenisnya terhadap hal-hal yang memang kita belum sampai ke sana. Entah karena memang keilmuan yang belum sampai ke sana atau mungkin karena kekurang-sabaran kita di dalam melihat gelagat orang lain. Sebab, jika sikap ‘mudah ceramah’ itu senantiasa menghantui dan menyatu dalam mindset dan alam fikiran kita, maka jangan tanya kenapa banyak orang  yang tidak setuju dengan ide, gagasan dan pola fikir yang kita bangun selama ini. Just think that again



Mereka yang kurang matang ilmu: sering berbuat gaduh dan marah-marah
Saya teringat pesan Abah Kyai (ayah dari guru kami, beliau sudah meninggal di tahun 2009) yang sering mengatakan, “Orang belajar itu seperti makan. Orang makan itu butuh beras yang dinanak menjadi nasi dan harus matang. Jika tidak matang maka namanya mekakon, beras tidak, nasi tidak, bubur pun tidak. Begitu pula, orang belajar yang tidak matang itu akan mekakon, bodoh tidak, alim tidak, pendapatnya jelek pun tidak, membangun pun tidak. Orang seperti ini, jika di depan tidak bisa ditiru, di belakang tidak mau ikut dan di tengah membuat kegaduhan. Orang makan juga harus sampai kenyang, kalau tidak nanti bisa marah-marah. Begitu pula orang cari ilmu  harus sekalian kenyang. Biar tidak mudah marah-marah.”

Nampaknya itu adalah kritik sosial keagamaan dari beliau yang perlu direnungkan bersama. Sebab, kita melihat realitas sosial sekarang muaranya memang dua perkara itu.

Ilmu yang dimaksudkan tentu bukan sekedar paham al-Qur’an-hadis, sosial-antropologi, matematika-logaritma dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu. Yaitu tentang kebijaksanaan, cara menasehati orang dengan tidak menyinggung perasaan, mencari titik perdamaian ketimbang hanya menyampaikan pendapat dan hukum semata.

Abah Kyai sering menceritakan pada kami seseorang bernama Hasan al-Bashri. Ulama dari Basrah, memiliki tetangga Nasrani yang kebetulan rumahnya ada di bagian atas rumah al-Bashri. Karena bentuknya apartemen. Ndilalah, kakus rumah Nasrani bocor tepat di samping ranjang tidur beliau. Saat si Nasrani menjenguk, dia kaget dan bertanya, “Mengapa engkau tidak melapor ke saya, sudah berapa harikah kejadian ini?” Dengan tersenyum penuh wibawa beliau menjawab, “Tidak masalah, baru saja terjadi sekitar 20 tahun yang lalu.”
Ethics is everything, Akhlak adalah segala-galanya....