MENYURUH JADI ENTERPRENUER DENGAN MENYEBAR MENTAL CPNS





Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak


Ada satu pernyataan menarik dari Mbak Nana (Najwa Syihab) bahwa generasi 80-an ke atas itu sangat suka sekali dengan dunia PNS (Pegawai Negeri Sipil). Alasannya simpel, karena dengan bekerja sebagai pegawai itu tidak lagi kefikiran masalah finansial. Lalu mbak Nana mengkritik bahwa untuk generasi milenial tidak boleh berfikir begitu. Harus berani inovatif dan kreatif, harus bisa menjadi pelopor bukan pengekor apalagi pelakor.
Tentu hal ini berbicara tentang mental. Dengan mental pegawai, seseorang sulit bersaing apalagi di kancah internasional-global kini. Sebab, mental pegawai, berarti tidak kreatif, inovatif dan daya saing tinggi. Hanya mengikuti perintah atasan, ribet dalam masalah birokrasi dan kurang tahan banting dengan segala ujian kehidupan. Lika-liku uripnya tidak urup jika meminjam istilah yang dipakai Kanjeng Sunan Kalijaga. Maksudnya adalah jalan hidupnya biasa-biasa saja, tidak ada karya kreatif yang mencengangkan. Orang seperti ini, rizkinya juga akan mengalami hal-hal biasa saja, tidak ada yang luar biasa. Andaikan benar dia bergaji tinggi pun, dia tetap di bawah bayang-bayang orang lain dan ketakutan jika dipecat nantinya. Hatinya tidak bebas, masih tunduk dengan petingginya.

Sebenarnya, isu untuk menjadi enterpreneur adalah hal baru yang sebelumnya tidak terlalu banyak didengungkan. Ini karena pemerintah ‘merasa’ kewalahan dengan tumbuh-kembangnya jumlah penduduk dan minimnya rasional lapangan kerja dibanding dengan jumlah tenaga kerja yang kian hari kian membludak. Belum lagi isu nasional dengan banyaknya buruh yang di PHK. Lalu demo berjilid-jilid banyak di mana-mana. Untuk menaikkan gaji, menyejahterakan buruh dan sebagainya. Hingga akhirnya para boss terpaksa tutup-pabrik, purna-kerja dan mengalihkan usahanya ke daerah-daerah yang masih rendah upah-gajinya. Maka, isu untuk menjadi wirausaha digulirkan dengan massif.

Jika kita membandingkan antara menjadi PNS zaman old dan zaman now, maka terlihat perbedaan yang sangat jelas sekali. Tentu karena guliran isu tersebut. Saya sendiri misalnya, ketika mendengar CPNS digelar itu tidak segreget dulu ketika masih kecil. Dulu, rela berduyun-duyun orang menjual tanah satu-satu yang menjadi aset dia dari keluarga demi terdaftar sebagai CPNS. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa zaman dulu untuk menjadi pegawai  pemerintah ini harus ditebus dengan ratusan juta. Apalagi zaman dulu, tanah masih lebih murah dibanding harga sapi dan sepeda motor. Tidak seperti sekarang yang melambung tinggi. Bahkan, ada tetangga saya yang rela menjual beberapa hektar tanah warisan orang tuanya demi menjabat tenaga ahli kepemerintahan tersebut. Dan itu bukanlah suatu aib. Tetapi kebanggaan. Saat itu yang tercermin di dalam kepala setiap individu adalah bahwa orang pemerintah itu berwibawa, disegani, tahu hukum, berpendidikan, pengalaman, paham kebutuhan warga dan yang terpenting adalah save finance (keuangan yang aman).

Itu dulu. Zaman sekarang sudah beda. Banyak sekali video-video atau pun sejenisnya yang menayangkan agar masyarakat ‘termotivasi’ untuk tidak terpikir menjadi pegawai. Namun, mereka lebih diarahkan untuk menjadi pengusaha. Berbagai simbol dan logika pun diusahakan untuk ditanamkan. Sehingga kesan menjadi PNS tidak se-wah dulu lagi. Bahkan banyak pula beberapa orang yang ‘pandai’ itu tidak mau mengabdikan kembali ke negara. Dia lebih senang dan nyaman dengan usaha pribadi dan swasta yang didalaminya.

Perlunya Merefresh Mindset Lagi

Di sini saya tidak sedang ingin menjustifikasi realitas-sosial yang sangat beda jelas antara dulu dan sekarang ini. Sebab, diakui atau pun tidak memang benar. Bahwa di era global-digitalisasi ini, kita dipaksa oleh zaman untuk berbeda dengan zaman dulu. Bayangkan.. Jika orang sekarang apalagi mereka yang masih muda itu berfikir sama persis dengan orang-orang tua zaman dulu untuk tertarik menjadi pegawai, maka nasibnya juga tidak akan lebih beda dengan orang dulu. Yaitu kasus suap, menjilat, gratifikasi dan kolusi akan tetap membahana. Di mana pun dan sampai kapan pun.

Belum lagi jika mental kita masih sama dengan model pegawai zaman dulu, maka itu sama dengan mematikan kreativitas kita sendiri. Diakui atau pun tidak, para pegawai itu akan kehilangan banyak waktu produktif pengembangan diri mereka sendiri. Apalagi jika tugas yang diterimanya itu tidak sama atau bahkan berlawanan dengan kualifikasi pendidikan yang didalaminya dulu. Ini sama saja dengan menyuruh ikan untuk terbang atau burung untuk berenang. Mematikan dengan perlahan tapi pasti.

Di samping itu, mental pegawai itu sama dengan mental budak. Apa maksudnya? Budak itu tidak mau bekerja kecuali dua hal. Takut ditegur tuannya atau ingin mendapatkan imbalannya. Hanya itu motivasi para budak bekerja. Maka, ada sindiran dari para ulama sufistik bahwa jika kamu beribadah hanya untuk mendapatkan surga atau pun takut karena neraka maka kamu beribadah dengan mental para budak. Dan mental seperti ini tidak akan pernah sedikit pun merasakan kepuasan ibadah, kenyamanan bekerja, serta merasa tekanan dalam hidupnya. Parahnya, adalah dia stress sendiri tanpa sebab yang mempengaruhinya. Belum lagi jika sarana prasarana tidak menunjang dengan beban yang dihadapinya. Jalan macet, arus banjir, alam dan suasananya yang menurutnya tidak mendukung. Maka ini semua bisa melengkapi penderitaan para budak abad milenial ini.

Solusi Menghilangkan Mental Buruh Dengan Memperbanyak Peluang CPNS

Hari-hari ini, kita disibukkan dengan warta berita tentang peluang dan banyaknya pendaftar CPNS. Saya sendiri meskipun ikut daftar juga tidak bisa totalitas. Perang batin sebagaimana yang saya jelaskan di atas selalu menghantui. Masih berfikir bagaimana cara mengembangkan diri dengan wirausaha. Meskipun belum mendapatkan bidang apa yang saya bisa tekuni dengan baik dan secara sadar atau pun tidak akan menjadi penyokong finansial saya tersebut. 

Memperbanyak peluang CPNS itu sesungguhnya sama saja memperbanyak mental buruh kepada rakyat kita. Bagaimana tidak? Hampir seluruh orang yang ikut mendaftar seperti saya, tidak terfikir olehnya cara mencari ‘sesuatu’ yang bisa layak jual. Dia hanya mengandalkan nasib baiknya semata. Bahkan menuju ke kreatif-inovatif, membaca peluang saja belum mampu. Padahal itu adalah syarat utama menjadi enterpreneurship.

Kadang saya berfikir, kenapa dana yang dialokasikan sebanyak itu untuk menerima CPNS muda dan baru itu tidak juga dipotong untuk pengembangan jiwa pengusaha bagi rakyat. Entah dengan pelatihan real-action, seminar pengembangan, dana suntikan usaha, dorongan untuk membaca peluang atau bahkan sistem MLM pembentukan kader usahawan-usahawan baru. Tentu jangan biarkan mereka berspekulasi sendiri sampai benar-benar siap untuk ditinggalkan.

Kadang sistem kita itu masih ambigu. Bagi usahawan muda yang kreatif-inovatif itu tidak ada suntikan atau motivasi khusus untuk pengembangan usaha mereka. Tetapi, ketika mereka sudah benar-benar berdiri dengan tegak dan layak, maka buru-buru kita memburu mereka dengan menagih ‘hutang-pajak’ dengan berbagai cara. Bukannya ini malah membuat mereka ilfil di dalam pengembangan dunia bisnis tersebut?

Kita taruh saja contoh pengembangan yang baik di dalam praktek penggemukan ayam boiler. Saya tidak menyebut semuanya sama. Tentu mereka berbeda-beda dengan tingkat visi-misi pabrik atau koorporasi masing-masing. Yang saya tahu di daerah saya, ada semacam perkongsian antar pemodal untuk mencari tanah siapa yang layak untuk membuat lahan peternakan. Kemudian mereka menuntun si pemilik dengan tawaran menjadi mitra bisnis-modal atau hanya penyediaan lahan. Tentu dengan konsekuensi masing-masing. Menariknya, adalah hampir tidak ada kerugian bagi pemula. Sebab, dia akan dimonitoring dengan baik. Dari mulai penyediaan bibit, makanan sampai penjualan nantinya.

Saya tidak sedang melihat satu-dua contoh real-action dengan memastikan kebaikannya, tetapi yang saya maksudkan adalah setidaknya dari sekarang penanaman mindset pentingnya berwira-usaha itu juga harus diimbangi dengan penyediaan-pengembangan ranah menuju ke sana. Sebab, teori tanpa praktek adalah nothing, it is nonsense....