ANTARA MABA DAN SABA
Oleh MA ZUHURUL FUQOHAK
Maba (Mahasiswa Baru) adalah pelajar anyar yang baru mengarungi pendidikan tinggi di era kampus. Sebagaimana Saba (Santri Baru) yang menjadi pelajar anyar yang baru saja mengarungi pendidikan di area pesantren. Keduanya memiliki sisi sama dan beda yang menarik untuk dikaji.
Pertama, jika Maba itu belum terlalu familiar dengan tugas-tugas seperti membuat slide, makalah yang berarura ilmiah, cara tahu index jurnal, kegiatan UKM dan lain sebagainya, maka begitu pula dengan Saba. Mereka juga belum terlalu terbiasa dengan kegiatan pesantren seperti bangun Subuh berjamaah, kewajiban membaca dan menghafal al-Qur’an atau kitab-kitab ulama, harus taat aturan, tidak boleh bawa alat elektronik dan sebagainya.
Kedua, jika Maba itu harus diarahkan senior atau bahkan dosen dengan sabar untuk bisa mengikuti aturan main dunia perkampusan, maka begitu pula dengan Saba. Ia juga perlu sekali diarahkan atau diajari adab-etika, cara bertata-krama dan bertutur sapa, bagaimana agar bisa disiplin tepat waktu dan kegiatan dalam keadaan senang dan ikhlas, serta hal-hal lainnya.
Ketiga, jika Maba itu masih awam banget dengan pemikiran dan bahan bacaan dunia kampus seperti pemikiran filsafat Yunani Klasik-Modern dan teoritis ilmu baru hingga kadang-kadang bertentangan sama sekali dengan ideal-moral yang ia dapatkan sebelum memasuki gerbang hijau itu, maka begitu pula dengan Saba. Ia akan awam banget dengan sistem hafalan beberapa kitab yang mungkin terkesan impossible sebelum memasukinya.
Sedangkan perbedaan keduanya nampak mencolok dalam dunia hafalan. Jika santri terbiasa menghafal bahkan menjadi kewajiban dan tugas pokok untuk kenaikan kelas misalnya seperti hafalan Alfiyyah Ibnu Malik, maka mahasiswa tidak terbiasa dengan dunia hafalan. Mereka lebih menekankan ke pemikiran dan perenungan. Mengapa begitu? Sebab, kiblat kampus adalah dunia filsafat yang lebih menekankan pemikiran. Sedangkan kaum santri adalah berkiblat ke dunia ulama salaf yang lebih menekankan hafalan.
Ini tidak berarti dunia kampus tidak ada sama sekali hafalannya. Karena mereka juga tertuntut untuk hafalan vocabulary (kosakata), hafalan al-Qur’an dan hadis, hafalan rumus dan pelajaran penting serta lainnya. Namun, itu semua tidak mendominasi. Pun tidak berarti dunia pesantren itu tidak ada perenungan dan pemikirannya. Bahkan bahsul masail (penelitian hukum masalah) itu sangat kuat dan itu tidak bisa dihafalkan. Ada juga karya ilmiah dan tulisan. Namun, yang lebih dominan adalah hafalannya.
Sebagaimana pula, dunia kampus itu lebih dominasi ke dunia tulis menulis. Sehingga skripsi untuk S1, tesis untuk S2 dan disertasi untuk S3 adalah kewajiban terakhir untuk memperoleh gelar kesarjanaan. Ini berdampak bahwa dunia kampus itu cenderung tertib administrasi. Namun, kelemahannya adalah formalitas itu mengurangi kekuatan analisis yang mendalam dari satu masalah. Bahkan, ilmu para mahasiswa itu cenderung satu masalah saja. Andai ia mahasiswa tafsir dan berniat menulis tentang asbabun nuzul saja, maka rntan waktu 4 tahun itu hanya di sana saja.
Sedangkan kaum santri itu lebih dominasi ke hafalan, inti masalah, konten perkara, analisis bebas dan sejenisnya. Tidak terbiasa menulis dan cenderung tidak tertib administrasi. Sehingga biasanya mereka kurang banyak karya ilmiah yang tertib aturan footnote dan sebagainya. Bahkan banyak sekali dunia pesantren yang masih tidak mau dan tidak ingin di bawah naungan Kemenag (Kementerian Agama) dengan alasan susahnya administrasi tersebut.
Demikianlah, kedua dunia itu tidak harus berseberangan tapi bisa saling melengkapi. Kami punya wacana, bagaimana jika dunia tulisan formal dan administrasi komplit itu difokuskan ke kampus setelah menelaah isi yang benar-benar sahih di dunia pesantren. Misalnya begini: untuk mendapatkan solusi masalah keumatan seperti mewabahnya cerai maka didiskusikan komplit di dunia pesantren dengan bahsul-masailnya. Lalu untuk draftnya menuju ke DPR-MPR adalah ke kampus. Itu akan lebih harmonis, akurat dan tepat sasaran. Semoga saja suatu saat.