NGAJI KIMIYAU AS-SA'ADAH LI AL-GHAZALI


Lanjutan ......


فصل في معرفة النفس
اعلم أن مفتاح معرفة الله تعالى هو معرفة النفس، كما قال سبحانه وتعالى: (سَنُريهِم آياتِنا في الآفاقِ وَفي أَنفُسِهِم حَتّى يَتَبَيَّنَ لَهُم أَنَّهُ الحَقُّ) . وقال النبي صلى الله عليه وسلم: من عرف نفسه فقد عرف ربه. وليس شيء أقرب إليك من نفسك، فإذا لم تعرف نفسك، فكيف تعرف ربك؟ فإن قلت: إني أعرف نفسي! فإنما تعرف الجسم الظاهر، الذي هو اليد والرجل والرأس والجثة، ولا تعرف ما في باطنك من الأمر الذي به إذا غضبت طلبت الخصومة، وإذا اشتهيت طلبت النكاح، وإذا جعت طلبت الأكل، وإذا عطشت طلبت الشرب. والدواب تشاركك في هذه الأمور.
Pasal Tentang (Pentingnya) Mengetahui Nafsu (Diri Sendiri)
Ketahuilah bahwa kunci makrifat (mengetahui) Allah swt adalah mengetahui (sadar) diri sendiri. Sebagaimana firman Allah swt: akan Kami perlihatkan pada mereka tanda-tanda kebesaran Kami di berbagai penjuru (semesta) dan di dalam diri mereka sendiri hingga benar-benar jelas bagi mereka bahwa (al-Qur’an) itu adalah benar.... (QS. Fussilat: 63). Nabi saw juga bersabda: barang siapa tahu dirinya maka sungguh ia telah mengetahui Tuhannya. Tidak ada sesuatu yang lebih dekat padamu melebihi dirimu sendiri. Maka, jika kamu tidak tahu dirimu, maka bagaimana kamu tahu Tuhanmu? Jika kamu berkata, “Aku tahu diriku sendiri...” Maka, sesungguhnya kamu hanya tahu jasad luarnya yang berupa tangan, kaki, kepala dan badan. Kamu tidak tahu isi dalam (jiwamu) yang jika kamu marah karena (terpancing) olehnya maka kamu ingin bertengkar. Jika syahwatmu muncul (karenanya) maka kamu ingin menikah. Jika kamu lapar (karenanya) maka kamu ingin makan. Dan jika kamu haus (karenanya) maka kamu ingin minum. Hewan-hewan itu juga sama denganmu dalam keperluan ini semua.

Syarah:
Dua istilah yang dikenalkan al-Ghazali di sini.  Yaitu ma’rifatullah (mengetahui Allah swt) dan ma’rifatu an-nafsi (mengetahui diri sendiri). Berikut kami jelaskan dengan sangat sederhana.
Ma’rifatullah
Mengetahui Allah swt itu ada dua kemungkinan. Pertama, tahu Allah swt dengan hakikat Dzat dan SifatNya. Ini tidak mungkin. Sebagaimana dalam QS. Al-An’âm: 103 bahwa Allah swt tidak bisa diliputi (diketahui hakikat) oleh mata penglihatan manusia. Bahkan kita dilarang untuk berfikir tentang hakikatNya. Sebagaimana dalam beberapa hadis Nabi saw. Kedua, tahu Allah dengan arti sadar betul akan wujud, kehadiran, indahnya sifat dan peranNya di kehidupan ini sehingga kita merasa betul menjadi hambaNya. Inilah yang menjadi kewajiban umat manusia. Meyakini adanya Sang Maha dan merasakan kehadiranNya. Pernahkah kita merasakan hampir saja kecelakaan tapi tidak jadi? Atau tenggelam, kerobohan, kebakaran karena percikan kabel, tiba-tiba ada hewan liar, ular, buas atau bahkan serangga yang bisa saja membunuh kita tapi kita selamat? Atau mengapa orang-orang mau membeli dagangan kita, mencintai kita, atau perduli kita? Siapa Sang Maha penggerak itu semua? Itulah Allah swt.
Ma’rifatullah itu wajib berdasarkan syariat atau akal? Mudahnya, di zaman fatroh (belum terutusnya Nabi), itu ada status dosa bagi orang-orang yang tidak tahu Allah swt?
Sebenarnya ini cabang dari masalah baik-buruk (husnu-qubhu) dan hukum itu berdasarkan akal atau syariat? Wahbah Zuhaili menyebut ada tiga mazhab. Pertama, mazhab Asyâ’irah yang menyebut semuanya (baik-buruk dan hukum) itu berdasarkan syariat. Jadi, di masa fatrah itu tidak ada dosa dan siksa. Kedua, mazhab Mu’tazilah menyebut bahwa semuanya itu dari akal. Sehingga, orang-orang di masa fatrah yang tidak kenal Tuhan itu disebut kafir dan tetap di neraka. Ketiga, mazhab Ma’turidiyyah menyebut baik-buruk itu dengan akal. Sedangkan hukum itu berdasar syariat. Sehingga, orang-orang di masa fatrah itu mestinya tahu baik-buruk, mereka salah. Namun, mereka tidak di neraka. Kenapa? Karena timbulnya konsekuensi hukum di neraka adalah ketika ada syariat yang dibawa Sang Rasul. Ma’rifatullah itu termasuk masalah baik-buruk.
Bagaimana agar orang bisa ma’rifatullah?
Untuk apa ma’rifatullah itu?
Apa hubungan ma’rifatullah dengan ma’rifatun nafsi?