PENEGASAN KATA GHARÎB DALAM BERBAGAI DISIPLIN ILMU






Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak

Di dalam kajian ilmu Balâghah, ada istilah kata gharîb pula. Yaitu manakala menjelaskan tentang fashôhah (kefasihan) kalimat (kata). Maksudnya, kata yang fasih adalah kata yang tidak ada ghorôbah (kesulitan makna) di dalamnya. Dan jika ada ghorôbah di dalamnya, maka ia disebut kata ghoiru fashôhah (tidak fasih). Contohnya seperti him (yang hitam legam) mursanan (terkendali) musarrojâ (kuda yang diberi pelana). Yang masyhur, makna him biasa memakai kata al-aswadu asy-syadîd (hitam pekat), mursanan dengan kata munqôdan (ditundukkan), dan musarroja dengan kata wadh’us saroj (mengasih pelana). Maka, kata-kata dalam contoh di atas dinamakan kata gharîb (sulit dimengerti maknanya) bagi orang awam.[1]

Dalam ilmu Ma’âni (semantic science), kata gharîb dimaksudkan ucapan yang sulit dimengerti dan tidak biasa digunakan oleh orang Arab kuno dan modern. Orang Arab kuno tidak menggunakannya karena kata itu berserikat (homonim-homograf) dengan memiliki banyak makna. Sedangkan Arab modern tidak menggunakannya karena memang asing dan tidak banyak mengenal kata tersebut.[2]

Kata gharîb dalam ilmu Ma’âni ini memiliki kesinoniman (padan kata) dengan kata wahsyî (yang liar). Dan antonimnya (lawan kata) adalah kata al-mu’tâd (yang biasa dipakai). Yaitu kata yang biasa dipakai dan tidak lagi asing di telinga atau pun cita rasa bahasa Arab. Kata gharîb itu ada dua tipe. Pertama, yang baik (hasan). Ini berarti kata atau kalimat yang sukar dipahami tapi tidak dicela oleh orang Arab itu sendiri. Karena mereka pun masih memaklumi dan kadang memakai kata atau kalimat tersebut. Misalnya kata Syarnabats (sangat buruk rupa), Isymakhoro (sangat panjang-tinggi), Iqmathoro (berkumpul). Gharîb dalam kategori ini juga adalah kata-kata gharîb di dalam al-Qur’an dan hadis.

Kedua, yang jelek (qabîh). Ini berarti kata atau kalimat yang sukar dipahami dan dicela oleh orang Arab itu sendiri. Ada dua model juga dalam kategori ini. Satu, adalah al-wahsyi al-ghalîth (parah liarnya). Yaitu kata yang sukar dipahami dan tidak enak didengar dan perasaan. Kata semacam ini juga disebut al-mutawa’-‘ir. Contohnya adalah kata al-Jahîsy (anak keledai). Dua, kata sukar yang dipahami namun biasa saja didengar dan dirasa. Misalnya kata taka’ka’tum yang artinya berkumpul.[3]

Kata gharîb juga banyak dipakai oleh ahli bahasa (al-lughawiyyûn). Mereka memaksudkan sebagai kata yang tidak jelas maknanya dan sulit dipahami oleh kalangan orang-orang khusus. Maksudnya adalah orang yang piawai dan pandai betul dalam kebahasaan. Masyarakat awam tidak menjadi pertimbangan mutlak dalam disiplin ilmu ini. Manakala pakar bahasa sudah angkat tangan untuk memahami suatu kata, maka dipastikan bahwa kata itu adalah gharîb.[4]

Ada lagi istilah gharîb di dalam ilmu Ushul Fiqh. Yaitu di dalam pembahasan bab qiyâs (silogisme). Untuk menetapkan qiyas, seseorang perlu mencari ‘illat (alasan) persamaan hukum cabang dan aslinya. Seperti persamaan memabukkan dalam keharaman mengonsumsi ganja yang dikiaskan dengan khamer (arak). ‘Illat (alasan) itu harus berupa kata sifat. Dan itu bisa dicari dengan empat model.[5]

Pertama, muatstsirah (berpengaruh). Yaitu kata sifat yang menurut penjelasan al-Qur’an, sunnah atau ijmak (konsensus) ulama itu menjadi penyebab hukum. Semisal alasan keharaman bilang uffin (ah dan sepadannya) pada orang tua adalah menyakiti hati mereka (îdzâ’). Maka, bentuk menyakiti apa pun kepada beliau berdua adalah diharamkan. Hal ini berdasarkan kesepakatan ulama. Atau contoh hadis man massa dzakarohû fal yatawaddha’ (barang siapa menyentuh kemaluannya maka berwudhulah). Ini sangat jelas sekali bahwa di antara alasan berwudhu adalah menyentuh kemaluan.

Kedua, mulâ-imah (menyinggung). Yaitu kata sifat yang berkonsekuensi ada hukumnya berdasarkan al-Qur’an, sunnah atau pun ijmak. Semisal al-haroj (kesusahan, berat) yang bisa meringankan hukum berdasarkan dalil al-Qur’an dan sunnah. Sifat ini ada dalam jama’ bis safar (menggabung shalat karena perjalanan). Dan itu juga berdasarkan al-Qur’an dan sunnah. Kemudian sifat itu digunakan pula dalam jama’ bil mathor (menggabung shalat karena hujan).

Ketiga, gharîb (keterasingan). Yaitu kata sifat yang berkonsekuensi ada hukumnya namun tidak ada dasar al-Qur’an, sunnah atau pun ijmaknya. Semisal orang sakit parah yang mencerai tiga kali sang istri itu diharamkan. Karena bisa menghalangi si istri untuk dapat warisan darinya. Sama halnya dengan seseorang yang membunuh orang yang diwarisinya agar ia segera mendapatkan warisan. Itu juga diharamkan. Yaitu sama-sama membahayakan orang lain. Namun hukum ini tidak ada dalilnya.

Keempat, mursal. Yaitu kata sifat yang tidak ada penjelasan al-Qur’an, hadis dan ijmaknya apakah ia berkonsekuensi ada hukum atau tidaknya. Semisal membunuh satu orang Islam yang dijadikan tameng oleh tentara kafir. Apakah itu diperbolehkan? Jawabannya adalah jika memang dipastikan umat Islam akan menang dengan hal itu maka diperbolehkan saja.[6]

Kata gharîb juga banyak digunakan dalam ilmu Musthalah al-Hadits. Yaitu hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang saja. Jika perawi satu itu adalah tabi’in (murid sahabat Nabi saw), maka hadis itu dinamakan sebagai gharîb mutlaq. Dan jika yang satu itu adalah generasi di bawahnya, maka itu disebut sebagai gharîb nisbi (relatif).

Contohnya sebagaimana dalam video berikut ini:



REFERENSI

Hasnah, Yetti, ‘Problematika Gharib dalam Bahasa Arab’, ALFAZ, 2.2 (2014), 11
Jalâluddin as-Suyûthi, ’Uqud al-Juman (Mesir: Dar Imam Muslim, 2012)
Muhamad Abd al-Hafîz al-Uryân, Dirâsât Lughawiyyah: Nazariyyatan Wa Tatlbîqan (Mesir: Dar Shadir, 2001)
Muhamad al-Fairuzabadi, Al-Qomus al-Muhith (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2005)
Muhamad Ali at-Tihawani, Mausu’ah Kisyafi Isthilahat al-Funun Wa al-Ulum (Lebanon: Nasyirun, 1996)
Muhamad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubiyyu, Maqasid Asy-Syari’ah al-Islamiyyah Wa ’Alaqatuha Bi al-Adillah Asy-Syar’iyyah (Beirut: Dar al-Hijrah, 1998)
Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawahir Al-Balaghah Fi al-Ma’na Wa al-Bayan Wa al-Badi’ (Beirut: Maktabah al-Ashriyyah, 1999)
Wahbah az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004)



[1] Jalâluddin as-Suyûthi, ’Uqud al-Juman (Mesir: Dar Imam Muslim, 2012), p. 28.
[2] Yetti Hasnah, ‘Problematika Gharib dalam Bahasa Arab’, ALFAZ, 2.2 (2014), 11 (p. 107).
[3] Muhamad Ali at-Tihawani, Mausu’ah Kisyafi Isthilahat al-Funun Wa al-Ulum (Lebanon: Nasyirun, 1996), p. 1251.
[4] Muhamad Abd al-Hafîz al-Uryân, Dirâsât Lughawiyyah: Nazariyyatan Wa Tatlbîqan (Mesir: Dar Shadir, 2001), p. 14.
[5] Wahbah az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), p. 682.
[6] Muhamad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubiyyu, Maqasid Asy-Syari’ah al-Islamiyyah Wa ’Alaqatuha Bi al-Adillah Asy-Syar’iyyah (Beirut: Dar al-Hijrah, 1998), p. 151.




Pertanyaannya adalah:
1. Ada berapakah pembagian kata gharib itu?
2. Adakah makna gharib di selain pembagian di atas? Coba sebutkan.

Berikan komentar terbaikmu dengan menyebutkan nama dan nim sebagai tanda kehadiran Anda!