BENARKAH SYEKH ALI JABER DITUSUK ORANG GILA?

 Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak

Gambar Syaikh Jaber dan Pelaku


Ikuti kami di Youtube Channel

    Warga Net dibuat geger dengan adanya berita yang mengejutkan. Yaitu perihal syekh Jaber yang ditikam oleh orang yang tidak dikenal. Informasi yang beredar menyebutkan si pelaku adalah orang gila yang sudah mengidap kelainan jiwa sejak empat tahun terakhir.

Benarkah demikian?

        Pertama, klaim orang gila itu tidak boleh sepihak. Ijmak kolektif (kesepakatan bersama) itu diperlukan dalam hal ini. Dalam hukum pidana Islam disebutkan bahwa seseorang yang mengaku-aku gila pada saat melakukan kriminal, atau keluarganya menyebut demikian, maka dia atau keluarganya harus mendatangkan minimal dua saksi ahli yang benar-benar tahu kejadian dan bukan orang yang membuat-buat.

        Ada kaidah umum berbunyi: al-bayyinatu lil mudda'i wal yaminu 'ala man ankaro (si pengaku-aku itu harus memiliki bukti dan si tertuduh itu cukup bersumpah). Ini sesungguhnya adalah hadis yang disandarkan kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Dan hukum ini berlaku untuk tindak pidana atau klaim tuduhan lainnya.

        Kedua, orang gila itu tidak lantas tanpa hukum sama sekali. Artinya, jika seseorang memiliki anak gila yang kemudian memecahkan harta orang lain atau merusaknya maka si orang tua tetap memiliki beban dan tanggung jawab untuk mengganti rugi. Dia tidak boleh hanya tinggal diam saja.

        Di dalam hukum fiqih Islam, ada perbedaan antara hukum taklifi dan wadh'i. Hukum taklifi adalah kaitan perbuatan dengan hukum haram-halal, sedangkan hukum wadh'i adalah kaitan perbuatan dengan konsekuensi sebab, syarat, dan rukunnya. 

        Untuk hukum taklifi memang disyaratkan si pelaku adalah orang mukallaf. Maksudnya adalah orang balig, berakal, dan Islam. Meskipun masih ada perselisihan ulama di dalamnya. Dalam konteks ini, orang gila itu tidak bisa masuk hukum taklifi. Artinya, andaikan benar si pelaku percobaan pembunuhan Syaikh Jaber adalah orang gila maka bisa saja dia tidak terkena hukum keharaman. Karena dia tidak berakal.

         Namun, meskipun andaikan benar si pelaku adalah orang gila sungguhan, dia tidak bisa lari dari hukum wadhi'i. Contoh dari hukum wadh'i adalah seseorang yang memiliki binatang yang kemudian makan tanaman orang lain maka si pemilik harus mengganti rugi, dhaman (tanggung jawab), dan dia juga terkena dosa manakala dia ceroboh tidak merawatnya dengan baik. 

        Bahkan andaikan si pemilik itu tidak mampu membayar tangguhan dengan baik kecuali dengan menjual binatang yang makan tanaman tadi, maka dia juga harus menjualnya demi tanggungannya bisa terlaksana.

    Jika dikontekskan dengan masalah ini, biarpun si pelaku adalah orang gila yang cacat jiwanya, maka orang tua, keluarga dekat, siapapun yang bertanggung-jawab akan orang gila itu harus dibawa ke pengadilan atau setidaknya di hadirkan ke meja hukum untuk bertanggung jawab atas perbuatan si gila itu.

    Ini diharapkan agar keamanan para ulama dalam berceramah yang membawa kesejukan itu ada jaminan. Jangan sampai isu sosial ini dibiarkan begitu saja tanpa ada ketegasan hukum yang melingkupinya.

Demikian,