Apakah Kyai Politikus Pantas Untuk Dihina?
Oleh: Zuhurul Fuqohak
Pertama, saya ingin mendudukkan perkara
penghinaan terlebih dahulu. Akhir-akhir ini begitu marak dan mudah sekali
menghina ulama-kyai-habaib oleh siapapun itu hanya karena alasan kecil dan
sepele. Tentu puncaknya adalah dimulai dari gejolak politik. Memang,
politik itu kejam. Bisa membunuh saudara, membungkam lisan ulama, bahkan
menghapus hubungan murid-guru sekalipun.
Benar memang ungkapan yang menyebut bahwa politik itu
abu-abu. Dia tidak bisa secara tegas disebut hitam murni kesalahan, sebagaimana
pula kita tidak bisa menyebutnya putih murni kebenarann dan kebaikan. Selalu
ada sisi baik dalam politik yang buruk, pun sebaliknya akan senantiasa ada sisi
buruk dalam politik yang baik. Semisal Soekarno yang disebut baik dan
dielu-elukan perjuangannya itu pasti ada sisi buruknya di dalam mengelola
bangsa ini. Bahkan tidak sedikit pula yang menyebutnya ada keterkaitan dengan
PKI meskipun argumentasi bantahan juga banyak pula. Begitulah politik.
Bahkan, Amer bin al-Ash seorang gubernur Mesir, politikus
ulung yang diagung-agungkan oleh Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra itu
pernah menyebutkan begini:
ليس العاقل من يعرف الخير من الشر، ولكن هو الذي
يعرف خير الشرّين
“Orang yang pandai itu bukanlah mereka yang mengetahui mana
yang baik dan mana yang buruk (karena itu mudah sekali menebaknya), namun orang
cerdik adalah mereka yang mampu mengetahui mana yang terbaik dari dua
keburukan…” (Ibnu Abid Dunya, Al-Isyrâf Fî
Manâzil al-Asyrâf: 264)
Ungkapan di atas sangat mendalam. Politik itu harus mampu
menangkap mana yang terbaik dari dua keburukan. Ijtihad adalah hal yang mutlak
diperlukan dan nisbi hasilnya. Artinya begini, jika seseorang sudah berniat
untuk terjun didalam politik maka dia harus memiliki piranti ijtihad (berfikir
mengambil mana yang terbaik) dari setiap sudut kemungkinan fenomena yang
dihadapinya. Ibarat bermain catur, politikus harus tahu posisinya dia dan
lawan, kecurigaan dari tidak-terduganya pasukan, raja, kuda hitam, dan momen
lainnya. Ijtihad di sini tidak sama dengan ijtihad dalam menemukan hukum fiqih
Islam.
Namun, apapun ijtihad yang dilakukan oleh seseorang maka
hasilnya itu bersifat nisbi. Karena dia bersifat relatif, maka klaim kebenaran
itu tidak diperbolehkan di dalamnya. Sebagaimana klaim kesalahan juga tidak
bisa. Ini yang menjadi dasar pertama siapapun kita dalam menyikapi
perpolitikan.
Kedua, menghina orang terutama
ulama (meskipun jatuh dalam dunia politik) adalah kesalahan yang absolut
(mutlak). Karena banyak ayat-ayat Alquran, hadis-hadis Nabi saw, dan akal
rasional yang menyebutkan hal itu. Menghina dengan apapun alasannya itu tidak
dibenarkan. Bahkan ada satu riwayat bahwa Nabi saw melarang Khalid bin al-Walid
untuk mencaci maki wanita al-Ghâmidiyyah yang terbukti berzina.
Alkisah, ada perempuan al-Ghâmidiyyah (saya belum tahu,
apakah nisbat ini sama dengan Syekh Sa’ad al-Ghâmidi) yang mengaku dirinya
berzina. Lalu Nabi saw menangguhkan rajamnya hingga nanti dia melahirkan anak. Setelah
anaknya keluar, dia kembali dan meminta dirajam. Nabi kembali menangguhkan dia
sampai menyapih anaknya. Setelah anaknya besar, dia datang lagi dan Nabi
menyuruh untuk merajamnya. Saat eksekusi dilaksanakan, Khalid bin al-Walid ra
melemparinya dengan batu dan melaknatinya. Nabi melarang Khalid dan bersabda
saw:
مهلا يا خالد، لقد
تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له
“Jangan begitu wahai Khalid, sungguh, dia sudah bertaubat
yang andaikan pemungut cukai bertaubat niscaya akan diampuni…” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, Abu Dawud dari Buraidah ra)
Dengan logika ini, maka tidak mungkin bahkan tidak perlu kita
mencaci dengan penghinaan yang sifat larangannya absolut kepada sikap politikus
yang dosanya relatif. Karena relatifisme itu tidak imbang dengan absolutisme.
Bahkan Alquran mengajarkan bahwa kita harus menghormati dan tidak boleh mencaci
maki orang tua kita sendiri meskipun keduanya adalah orang non muslim yang
menyuruh kita untuk murtad sekalipun.