Zakat di Lazada, Tokopedia, Shopee dan Sejenisnya
Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak
Perlu dipahami, si pembagi-bagi harta zakat yang akan
menyerahkannya kepada si mustahiq itu bisa berupa amil atau wakil. Keduanya ini memiliki definisi dan dampak hukum yang berbeda.
Amil adalah
panitia zakat yang diangkat langsung oleh pemerintah negara yang sah. Untuk
konteks Indonesia, Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) adalah contoh yang
relevan. Sebab, badan tersebut secara resmi di bawah lembaga Kementerian Agama
yang ada di Indonesia.
Sedangkan
wakil adalah pembagi-bagi zakat di luar itu. Misalnya adalah panitia penerima
zakat yang ada di masjid-masjid, mushalla, sekolahan, atau merchant-merchant
toko online seperti halnya shopee, tokopedia, lazada dan sejenisnya.
Untuk mengetahui pihak yang berwenang
mengangkat amil di Indonesia, dari tingkat nasional sampai desa, diperlukan
pemahaman Pengelola Zakat yang ada, sebagaimana dalam UU No 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat dan PP No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dari dasar tersebut lanjutnya, dapat diketahui bahwa ada tiga
Pengelola Zakat Formal yang ada di Indonesia. Pertama adalah
Badan Amil Zakat Nasional atau (BAZNAS) baik ditingkat Nasional, Provinsi
maupun Kabupaten. Kedua adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah diberi izin
oleh BAZNAS dan ketiga adalah Pengelola Zakat Perseorangan atau Kumpulan
Perseorangan dalam Masyarakat di komunitas atau wilayah yang belum terjangkau
oleh BAZNAS dan LAZ dan akui oleh BAZNAS Kabupaten atau LAZ Kabupaten.
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/78981/ini-perbedaan-antara-panitia-zakat-dan-amil-zakat
Kedua lembaga
itu memiliki konsekuensi yang berbeda.
Pertama, amil itu berhak mendapatkan bagian zakat yang kira-kiranya
bisa untuk mengganti rugi upah wajar (ujrah mitsl) dari kerja keras
sosialisasi, menarik, mengumpulkan, dan mendistribusikan zakat tersebut.
Berbeda
halnya dengan wakil zakat, dia tidak berhak sama sekali untuk mengambil harta
zakat yang dia terima. Jika memang dia ingin mendapatkan upah, maka secara
terang-terangan harus ada kontrak yang jelas di muka dengan si pemberi zakat
agar memberinya sejumlah upah atas kerja kerasnya tersebut. Jika tidak ada sama
sekali, maka dia dianggap sebagai tabarru’ (bersuka-rela) dalam
pekerjaannya tersebut dan tidak berhak mendapatkan upah.
Kedua, jika si muzakki (pemberi zakat; pemilik uang) itu
sudah menyerahkan zakat kepada si amil maka bebannya selesai. Terserah si amil
mau diapakan dan dikemenakan harta zakat tersebut. Bahkan andai saja harta
zakat itu tidak sampai ke mustahiq maka si muzakki sudah tidak berdosa.
Karena beban tanggung-jawab sudah beralih kepada si amil tadi.
Berbeda
halnya dengan si wakil zakat. Maka, si muzakki harus benar-benar
memastikannya apakah harta zakat sudah sampai dengan baik dan benar kepada si
pemilik mestinya. Jika ternyata di kemudian hari, harta zakat itu terbukti
salah sasaran, maka si muzakki belum selesai tanggung-jawabnya. Artinya
dia wajib mengganti rugi dan menyerahkan zakat lagi kepada para mustahiq jika
memang harta awalnya sudah habis paripurna.
Lebih utama
mana, zakat diberikan lewat orang lain (baik amil ataupun wakil) atau diberikan
sendiri oleh si muzakki kepada yang berhak? Ulama berselisih pendapat
mengenai hal ini. Ada ulama yang berpendapat sebaiknya diserahkan kepada
pemerintah secara mutlak, entah itu pemerintah adil atau zalim. Pendapat lain
menyebut bahwa jika pemerintahnya zalim maka sebaiknya dibagikan sendiri.
مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج
(2/ 129):