Romadhon Akan Meninggalkan Kita, Sedih Atau Gembira?


Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak, M.S.I

Tibalah kita di penghujung acara "pasogatan" Allah swt kepada kita semua dengan hadirnya Romadhon 1443 ini. Suasana "Bodo" mulai terasa, distro, toko kain, baju, celana dan pakaian mulai ramai pengunjung. Senangkah kita, atau sedih karena ditinggalkan SI Suci ini? Anak kecil tentu senang, orang tua ada yang sedih karena mikir utang, "mbajuni" anak-istri, dan siap-siap sowan ibu-bapak. Ada juga yang senang karena "bodo" kali ini sudah bisa "bebas" tidak seperti dua-tiga tahun sebelumnya.

Sebenarnya, ada tidak syariat Islam yang mengatur hal ini? Maksudnya, sebenarnya kita disuruh senang atau sedih saat Romadhon mulai pergi meninggalkan kita?

Ada hadis Nabi saw yang mengatakan:

للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح بفطره، وإذا لقي ربه فرح بصومه

"Orang puasa itu punya dua kebahagiaan yang disenanginya, ketika dia berbuka maka dia senang karena berbukanya. Dan jika dia ketemu Tuhannya maka dia bergembira dengan puasanya...." (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra)

Jika melihat hadis ini, mestinya kita "harus" bergembira, tidak boleh sedih dan susah atas alasan apapun. Ibaratnya begini, tamu agung yang hadir di rumah kita lalu beliau pergi setelah memberkahi tempat tinggal kita semua. Bagaimanakah perasaan kita? Tentu bergembira, bukan? Sedih manakala tamu itu meninggalkan kita bisa terkesan kita tidak melihat "atsar: bekas" keberkahan yang telah beliau hadirkan.

Romadhon itu penuh berkah, kita beramal saleh banyak atau sedikit pasti akan mendapatkan keberkahan itu. Romadhon itu tamu mulia nan agung yang banyak sekali membawa manfaat, beliau pergi setelah memberikan "atsar" yang diizinkan oleh Allah swt.

Menurut kami pribadi, masalah ini hampir mirip dengan 12 Robiul Awwal, tanggal kelahiran Baginda Nabi saw plus tanggal wafat beliau dalam riwayat terkuat. Pertanyaannya, apakah kita harus sedih atau gembira dengan datangnya 12 Robiul Awwal itu?

Di antara Mazhab Maliki ada yang menyuruh untuk bersedih saja, mengingat tanggal itu adalah wafatnya Kanjeng Nabi saw. Namun, mazhab Syafi'i yang diwakili oleh Imam Suyuthi cenderung menyuruh untuk berbahagia saja karena itu hari lahirnya beliau yang menjadi nikmat teragung dan terbesar. 

Kami pernah membahasnya di sini:



Jadi, dua sisi itu akan selalu muncul bagi persepsi yang berbeda. Masing-masing baik saja, tergantung suasana hati yang dipenuhi keikhlasan.

Maksud kami begini, jika dia bersedih lalu menambal "kelalainnya" dengan ibadah "baru" di bulan-bulan setelah Romadhon, fabiha wa ni'mat (alangkah bagusnya). Namun, jika dia hanya bersedih berkepanjangan dan tetap tidak mengubah amalnya, maka fabi'sal mashiir (jelek banget endingnya). Sedang jika seseorang bergembira karena bersyukur dan dibuktikan dengan ziyadatul 'amal (tambah baik sikapnya), fasaufa yuhasabu hisaban yasiiro wa yanqolibu ilaa ahlihii masruuroo (akan baik tempatnya). Namun, jika dia bergembira malah berdosa, fasaufa yad'uu tsubuuro (akan mendapatkan kecelakaan).

Jadi, bukan hanya tentang gembira atau duka? Tetapi, what is the impact after that??? itu yang terpenting.

Semoga kita tetap bisa berjumpa dengan Romadhon berikutnya,

Akhukum Fillah,